05/12/14

Mati Satu Tumbuh Seribu

Akhirnya penderitaan ini berakhir juga. Penderitaan selama lima hari berturut-turut yang telah menguras hati, otak, dan tenaga. Terhitung dari tanggal 1 Desember 2014, penderitaan ini telah membuahkan kantung mata dan air mata. Yak, penderitaan ini biasa disebut Ujian Akhir Semester.

Jujur, hari pertama UAS gue ngerasa semangat karena dari H-2 gue udah belajar seharian. Iyap, bener-bener seharian. Karena gue nggak ada acara apa-apa, jadinya gue seharian di rumah. Tepatnya di kamar. Dari bangun tidur gue udah ditemenin sama buku agama dan ppkn. Jadi seharian gue melakukan aktivitas akhir pekan sembari belajar. Kerajinan banget nggak?

Dan alhamdulillah pas hari pertama gue bisa ngisi lembar jawaban dengan selamat sentosa. Tanpa lirik-lirik kanan kiri dan cap cip cup. Alhamdulillah bangeeett.

Namun bodohnya, di H-2 itu gue cuma belajar mapel buat hari pertama. Pas hari kedua, tiba-tiba rasa semangat yang ajaib itu tiba-tiba hilang entah ke mana. Gue tetep belajar, tapi ya males-malesan gitu, nggak maksimal. Alhasil pas ngisi lembar jawaban pun gue menerapkan sistim pola silang indah dan mengarang bebas dengan kreativitas tingkat tinggi.

Ehm, tapi gue ga mau panjang lebar membahas ujian yang kejam itu.

Yang sekarang gue pengen bahas ialah.....

Sesuatu yang lebih kejam:'

Ialah.....

Jerawat.

Gue benci jerawat. Tapi entah mengapa, hal yang gue benci itu malah setia menemani dan menghiasi hari-hari ini. Tepatnya wajah ini. Jadi pertamanya ada jerawat satu kecil di deket hidung. Kan panik tuh. Yaudah gue menambah frekuensi waktu mencuci muka. Nggak ilang-ilang juga. Kan ngeselin. Akhirnya gue minjem obat jerawat berwujud krim milik ayah gue. Pertamanya gue rada ga yakin. Kenapa? Ya gapapa, feeling aja gitu....

Karena nggak ada pilihan lain, akhirnya gue pake deh itu krim. Setelah sekita seminggu, jerawat itu pun mulai sirna. Betapa bahagianya diriku ini.  Eh taunya, tiba-tiba dengan secara ngeselin tumbuh jerawat lain di jidat dan pipi. Pele kan emang.

Gue pertamanya cuek aja sih. Semuanya adem anyem aja tanpa masalah. Sampe akhirnya orang-orang di sekitar gue mulai berkomentar....

"Kok jerawatan sih ca?"
mana w tau y
"Ih yang rajin cuci muka dong"
kayaknya pagi malem w udah rajin cuci muka y
"Ihhh jerawatan, udah punya pacar yaaa"
Seandainya iya....:"

Gue pun mulai setres. Kadang ada jerawat yang ilang, eh malah muncul lagi di tempat lain. Kalo jerawat itu manusia pasti udah gue aniaya dia.

Akhirnya, beberapa hari kemudian, datang sebuah pencerahan. Ayah gue pergi ke Cina untuk beberapa hari karena pekerjaan. Dan pulangnya, beliau membawa sebuah kotak berwarna putih-hijau yang di dalamnya berisi krim buat ngilangin jerawat. Katanya krim itu cuma ada dikit alias langka. 

Gue pun mengoleskan krim itu dengan girangnya. Namun ketika krim putih itu tengah bersandar di muka gue.......

Kok panas gini ya

Makin panas...

Panas....

INI KRIM APA BALSEM?

Gue pun bilang ke ayah. Katanya "ya namanya juga obat, kalo ga kerasa apa-apa berarti nggak ada khasiatnya dong.". Akhirnya setiap malem menjelang tidur gue pake krim itu. Dan alhasil jerawat ini satu-persatu mulai musnah. Bahagiaaa.

Namu  kebahagian itu kembali hilang ketika suatu malam tiba-tiba krim itu secara misterius hilang dari kamar gue. Gue coba nyari-nyari ke penjuru rumah nggak ada. Gue pun panik. Akhirnya selama beberapa hari gue tidak lagi ditemani krim itu. Jerawat-jerawat yang tidak berprikemanusiaan itu pun muncul lagi. Pele pele.

Dan pada akhirnya gue tau, ternyata krim itu diambil ayah secara diam-diam dan ditaruh di kamar mandinya.......

Dan gue pun ngambil balik secara diam-diam juga.

Dan sekarang muka gue sedang dalam masa pemulihan(?). Yah doain aja ya muka ini bisa bersih bersinar lagi seperti dahulu kala.

Sekian.

25/11/14

Cerita di Halte Kota (Cerpen)

Jadi beberapa minggu yang lalu, gue ikut sebuah lomba sastra di salah satu SMA di Bogor. Nah gue ikut lomba menulis cerpen. Ini kedua kalinya gue ikut lomba cerpen dan kedua kalinya juga gue.....kalah.

Sedih mah yah sedih banget yah. Sakit gitu rasanya. Tapi ya namanya lomba pasti ada menang kalah, dan kekalahan itu harus diterima dan dijadiin motivasi buat usaha lebih keras lagi. Karena nggak ada kesuksesan yang didapet dengan cara mudah. Asik.


Tapi ternyata greget juga ngeliat cerpen itu akhirnya cuma berdiam diri di draft komputer. Akhirnya setelah gue pikirkan secara masak-masak (tepatnya selama dua menit) gue putuskan untuk ngepost cerpen itu di blog ini.


Ohiya, jangan lupa tinggalin komentar dan saran yaaahhh. Karena kritikmu adalah motivasinya aku. :D 


Oke langsung aja..


***
Cerita di Halte Kota

Sudah setengah jam aku menunggu dan tidak ada satu pun bis yang lewat. Aku beberapa kali mendengus kesal. Langit siang mulai gelap dan aku belum bisa pulang. Rasanya seperti ingin kutendang saja tong sampah di depanku. Apalagi suasana hatiku begitu kompak dengan cuaca hari ini. Mendung tidak karuan. 

            Perlahan air hujan mulai jatuh. Jalanan begitu sepi. Hanya ada beberapa kendaraan dan satu dua pejalan kaki yang tergesa-gesa pulang. Seorang perempuan sebayaku berlari menuju halte ini dengan tas di atas kepalanya. ia duduk di sebelahku. Ia mengusap tas ranselnya yang basah itu.

             Ia melepas ikat rambut yang sedari tadi menguncir rambut panjang hitam pekatnya. Rambut itu terurai indah. Raut wajahnya begitu hangat. Bibir tipisnya selalu menyimpulkan senyum kecil yang samar-samar, namun dapat memberi kesan bahagia di parasnya. Aku selalu ingin raut wajah itu. Aku selalu kesal dengan tanggapan orang yang mengatakan mukaku menjengkelkan, walaupun sebenarnya aku sedang tidak jengkel.

            Kupandangi wajahnya. Dari mata cokelat sipit hingga hidung mancungnya. Memoriku berputar. Paras unik nan menarik itu nampak familiar bagiku. Terngiang di kepalaku bayangan wajah itu tengah bersenda gurau denganku. Di atas paparan taman bunga, di sudut taman sekolah lama.

            “Nila.” Ucapnya dengan senyum ramah sembari menyodorkan tangan, membuyarkan lamunanku. Sepertinya ia sadar sedari tadi aku memerhatikannya. Aku agak tersentak. Aku tersenyum seadanya. Hanya senyum itu yang dapat kupersembahkan untuk menutupi debu-debu yang melekat di sudut hatiku. Kusambut tangan itu.

            Tangan hangat ini. Tangan hangat yang senantiasa menggegam jemariku ketika aku ketakutan. Tangan yang tidak bosannya mengusap air mata yang mengalir di pipiku. Tangan yang selalu kurindukan.

            “Nila?!” Aku agak berteriak. Ia tersontak melihat reaksiku. Alisnya mengkerut. “Kau tidak ingat aku?” raut wajah bingungnya tidak berubah.

Aku mengembangkan senyum.

            “Ini aku! Adriana!”  

            “Ah! Adriana!” Nila terkejut dan tersenyum girang. Matanya yang semula menyipit langsung terbuka lebar dan berbinar. Ia langsung mendekapku. Dekapan ini, dekapan hangat lima tahun lalu.

            Dasar, sahabat lamaku ini. Sifatnya tidak pernah berubah. Masih saja pelupa.

            “Ingat nggak, La? waktu SD kita sering hujan-hujanan di depan rumahmu.”

            “Ingat sekali, Dri. Aku juga ingat kamu suka nangis gara-gara terpeleset.” Ucap Nila. Aku mencubit lengannya. Ia tertawa usil.

Nila masih ramah dan riang seperti dulu. Hampir setiap kata dari mulutnya dihiasi senyum indah. Begitu nyaman dipandangi. Obrolan kami selalu nyambung. Tidak ada jeda antara topik yang satu dan lainnya. Kami tertawa-tawa menghiraukan deras hujan. Persis seperti dahulu.

Nila bercerita tentang kehidupannya sekarang. Ia kini tinggal di sebuah rumah sederhana tidak jauh dari rumahku. Ayahnya kini menjadi seorang  pegawai perusahaan dan ibunya menjadi seorang ibu rumah tangga. Ia juga kini mempunyai dua adik kembar yang baru berusia empat tahun.

            Aku selalu suka kehidupannya. Pastilah menyenangkan jika setiap pulang sekolah disambut adik-adik lucu yang  sedang menonton televisi dan mengajak kakaknya bergabung. Tapi sang kakak menolak karena ingin membantu ibu memasak makan malam di dapur. Dan pada saat-saat itu, sang kakak dapat bercerita tentang kejadian-kejadian di sekolah yang tak kalah menyenangkan. Tentang teman-teman baru, pelajaran, nilai ujian, dan hal-hal menarik lainnya. Kemudisan, sang ayah pulang membawa oleh-oleh dari pusat pembelanjaan. Dan ketika makan malam, keluarga kecil ini berkumpul di ruang makan dengan kehangatan dan kasih sayang.

            Aku menanggapi cerita-cerita Nila dengan cerita kehidupanku sekarang ini. Cerita yang sangat bertolak belakang dengan kehidupan Nila.

Pulang sekolah aku selalu disambut oleh rumah kosong seperti tidak berpenghuni. Bahkan kunci rumah selalu ada di tanganku karena aku selalu pulang paling awal dibanding orangtua dan kakak-kakakku. Ayahku seorang direktur di sebuah universitas dan ibuku seorang kepala sekolah. Mereka selalu pulang ketika aku sudah terlelap dan berangkat bekerja pagi sekali ketika aku belum terbangun.

Aku selalu berangkat sekolah bersama kedua kakak laki-lakiku, namun kami berpisah di persimpangan jalan karena sekolah kami tidak searah. Aku tidak pernah diizinkan berangkat sendiri. Kadang aku terlambat sekolah karena kakakku yang telat bangun. Perjalanan ke sekolah yang cukup jauh pun selalu dipenuhi hara-hiri kemacetan. Akhirnya aku menjadi langganan berdiri di barisan anak-anak yang dianggap tidak disiplin ketika upacara bendera hari Senin.

            Ayah selalu memerintahkanku mempelajari hal-hal yang belum dipelajari di sekolah. Supaya aku unggul katanya. Aku pun selalu belajar sendiri tanpa guru pembimbing. Ya, aku sudah terbiasa melakukan segala sesuatunya sendiri tanpa bantuan orang lain. Aku selalu diberi peraturan tanpa arahan. Namun ketika aku melakukan kesalahan, kedua orangtuaku selalu memarahiku tiada habisnya. Kakak-kakakku yang tidak tahu apa-apa pun ikut menyalahkanku.

            Hujan mulai reda. Matahari mulai menunjukkan keberadaannya. Nila mengajakku pulang bersama. Kami pun memutuskan berjalan kaki karena tidak ada bis yang kunjung lewat.

            Kami turun dari halte. Jalanan lembab, kental dengan bau bekas hujan yang begitu khas. Kami berjalan berdampingan di trotoar.

            Nila mampir ke sebuah toko bunga di pinggir jalan. Ia membeli dua ikat bunga lili. Aku keheranan melihatnya.

            “Untuk orang tuaku. Hari ini mereka ulang tahun pernikahan.” ucap Nila tanpa kutanya.

            Kami pun kembali menyusuri trotoar. Beberapa menit kemudian Nila kembali menghentikan langkahnya.

            “Itu rumahku, Dri.” Ucap Nila sembari menunjuk sebuah rumah bercat putih di seberang jalan. Kami pun berpisah. Aku memerhatikan langkah Nila dari balik punggungnya. Ia tidak langsung masuk rumah. Ia berjalan ke sebuah pemakaman di sebelah rumahnya. Nila meletakkan dua bunga lili yang tadi ia beli di atas dua buah makam. Air matanya menetes, namun mulutnya tetap menunjukkan seberkas senyum kecil.

10/10/14

Kesepian?

Pernah nggak sih ngerasa kesepian? Atau ngerasa kayak nggak ada orang yang merhatiin lo? Atau kayak nggak ada orang yang bisa ngertiin lo? Sehingga lo ngerasa cuma diri lo dan Tuhan yang ngerti?

                Kadang gue ngerasa gitu. Ada banyak masalah-masalah yang sebenernya sepele, tapi datengnya bertubi-tubi. Seakan-akan setiap hal yang gue lakukan adalah kesalahan dan berujung diomelin. Yang satu belum adem, udah dateng perusak suasana hati yang lain. Dan yang paling gue sebelin, nggak ada orang yang berusaha menghibur gue.

                Kadang gue mikir, kalo kita pengen diperlakukan demikian oleh orang lain, kita juga harus memperlakukan mereka demikian. Gue pengen diperhatiin. Gue pengen ada orang yang ngekhawatirin gue. Gue pengen dicariin.

                Yes, i know. My parents. Gue tau orang tua gue selalu sayang dan perhatian sama gue melebihi apapun di dunia ini. Setiap gue diomelin ayah atau ibu, gue selalu diem dan nurut, karena gue tau mereka ingin yang terbaik. Tapi kadang gue mikir, sesalah-salahnya orang, dia juga punya perasaan.

                Orang tua gue adalah orang sibuk, tapi mereka selalu ngelarang gue pergi ke mana-mana. Kakak gue pun selalu pulang malem. Dan bisa dibayanginlah ya, gue selalu ngerasa kesepian. Dan lama-lama, kesepian ini makin nyiksa batin. Apalagi ngeliat temen-temen yang lagi seneng-seneng tanpa ngajak gue. Bukan ga ngajak sih, emang guenya yang berusaha ngehindar. Toh ada nggak adanya gue juga nggak ngaruh juga buat mereka. Yah, walaupun kadang sedih juga sih. Kenapa gue ngehindar? Kenapa gue nggak ikut aja? Bingung juga sih. Mungkin karena masalah tadi, gue sedih dan nggak ada yang bisa ngerti. Mungkin rasa seih itu bikin gue jadi sensi. Mungkin guenya yang emang nyebelin. Mungkin mungkin dan mungkin. Gatau ah.

                And i know, setiap orang punya masalah. Bahkan sahabat terdekat gue pun punya masalah yang jauh lebih berat dari apa yang gue rasain. Dan gue salut sama kesabarannya ngehadapin masalah itu tanpa ngeluh atau update status:) gue akuin gue sebagai bocah nggak bisa bantu dia apa-apa. Gue Cuma bisa ngedengerin dia. Dan gue akan selalu setia ngedengerin dia. Mungkin cara yang bisa gue lakuin buat bantu dia adalah nemenin ke guru bina konseling/bk. Tapi dia suka nggak mau. Padahal gue yakin, masalah-masalah itu jangan dipendem sendiri, seenggaknya ceritalah ke orang dewasa yang lebih ngerti.

                Gue selalu maksa dia buat ke bk karena gue nggak mau ngeliat dia sedih (walapun dia nggak nunjukkin kalo dia sedih, tapi gue tau). Gue selalu berusaha buat dia seneng. Gue selalu coba ngelucu walaupun suka jayus. Yang penting orang-orang di sekeliling gue seneng. Dan gue jadi seneng kalo ngeliat orang lain seneng. Dan kadang, itulah cara gue buat ngelupain semua masalah. Tapi kadang gue mikir, kenapa ketika gue sedang sedih nggak ada yang berusaha ngehibur gue. Ya, mungkin ada yang nanya “lo kenapa?” dan gue  jawab “gapapa.” Mereka langsung kayak ga peduli. Padahal ketika ada orang yang sedih dan gue tanya kenapa mereka jawab gapapa gue selalu maksa mereka buat cerita. Apa guenya yang kepo? Apa guenya yang ngga enakan? Gatau ah.

                Ini tulisan nggak intinya emang. Sekedar curahan hati aja. Hehehe. Btw ada quote nih:
                “Dunia itu pintu gerbang, Ke seribu gurun bisu dan dingin.”-Friedrich Nietzsche :)

29/06/14

Marhaban Ya Ramadhan!

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Gue dengan ini mengucapkan selama menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadhan bagi yang menjalankan. Semoga di bulan suci ini kita semua diberi keberkahan oleh Allah SWT. Aamiin.
#asik
Dan seperti taun kemaren, ada beberapa foto bagus yang layak gue share....

 










*glek*