Pernah
tidak kamu merasa tidak berguna? Tidak punya bakat apa-apa?
Ketika
kamu melihat sekitar, banyak orang-orang terdekat kamu yang telah berkutat
dengan mimpinya. Setidaknya, ada satu bidang yang mereka kuasai.
Garisbawahi, ku-a-sa-i. Sudah bukan di tahap
nyoba-nyoba, amatir, dan sebagainya. Mereka sudah tahu apa yang mereka suka dari
kecil, dan mereka latih sampai sekarang. Sementara kamu, masih
meraba-raba, sebenarnya apa yang aku suka?
Kadang
kamu merasa suka ini, tapi tidak berbakat. Ketika kamu merasa berbakat,
ternyata ada teman kamu yang lebih jago dan kamu merasa cuma jadi sebutir debu.
Kadang kamu merasa pintar, tapi juga bodoh. Kadang kamu merasa bodoh, tapi
kayak pernah pintar. Kamu coba menggali lagi apa prestasi kamu di masa lalu.
Ada. Tapi cuma kenang-kenangan yang sulit kamu raih kembali karena udah
terkubur terlalu dalam. Sementara ada orang lain yang bergumul dengan hal itu
dan tidak pernah berhenti. Dulu mereka pernah ada di A dan kamu ada di B.
Sekarang? Rasanya mereka udah ada di J, T, atau W, sementara kamu masih tetap
di B. Kayak perahu emas yang ingin bergerak maju, tapi dayungnya sudah terlepas
dan tenggelam. Mungkin dua kata paling tepat; sia-sia?
Tidak,
bukan. Bukan usaha kamu yang sia-sia. Tapi kamu yang lengah karena
menyia-nyiakan waktu kamu untuk berusaha lebih keras. Kamu yang belum siap
untuk konsisten dengan satu hal yang kamu cintai. Kamu yang belum berani untuk
berkomitmen melawan segala macam halangan dalam meraih mimpi sehingga kamu
mencari pelampiasan lain. Tapi, salahkah?
Pelampian
lain. Kamu mulai banyak hal lain dari nol. Keluar dari zona nyaman, melawan
rasa takut kamu akan hal-hal yang tidak pernah terbesit sedikit pun bakal kamu
lakukan. Pengalaman baru, teman baru, pengetahuan baru, dan... kesadaran baru?
Ya, kesadaran. Kesadaran akan betapa besarnya dunia yang kamu tinggali ini.
Kesadaran akan betapa kamu selama ini bersembunyi dalam sangkar yang kamu
ciptakan sendiri. Kesadaran akan segala keluh kesahmu tentang pahitnya dunia,
padahal kamu sendiri yang terlalu nyaman dalam dunia kamu yang manis, namun
semu. Iya, dunia memang pahit. Tapi kopi pahit pun kalau diberi gula akan manis
kan? Untuk mendapatkan gul aitu tidak mudah. Dari tebu yang harus melewati
proses penggilingan, pemurnian, penguapan, kristalisasi, pemutaran, pengemasan,
baru didistribusikan ke toko-toko dan akhirnya sampai ke dapur kamu. Kompleks,
tapi bisa bikin manis kopi pahit. Bayangkan kalau proses itu adalah usaha-usaha
kamu, gula itu adalah hasilnya, dan kopi pahit adalah segala emosi negatif yang
ada di otak dan hati kamu. Ternyata sederhana ya?
Tebu tidak
pernah tahu dia akan melewati proses-proses itu. Yang dia tahu, dia cuma akan
bertengger di atas tanah, menjadi tanaman pada umumnya. Diam dan hidup. Tapi
nasib membawanya ke tempat lain. Tempat yang tidak pernah dia bayangkan,
sekalipun dalam mimpinya. Banyak mesin-mesin dan orang-orang baru yang tidak
pernah dia duga akan dia kenal. Tapi di situlah takdirnya. Ia senang. Namun
kemudian, ia rindu rumah. Ia rindu menjadi tanaman yang hidup dan bercengkrama
dengan angin. Ia ingin kembali. Ia melihat sekeliling. Ia melihat Pak Mursidi
yang senang kopinya jadi manis. Tebu tersenyum. Ia berada di dunia antah
berantah, namun menjadi bermanfaat bagi orang lain. Di situlah ia meraih
kesadaran, bahwa dia memang ditakdirkan menjadi gula. Di situlah perannya dalam
hiruk-pikuk dunia yang kejam ini.
Sama
seperti aku. Bedanya, gula tidak bisa kembali jadi tebu, aku bisa. Dan di
situlah poinnya. Haruskah aku menggali lubang lama yang dalam namun sudah
tertutup? Atau mencari lubang lain yang masih terbuka, namun masih sangat
dangkal? Sebenarnya, lebih sulit mana? Dan, apakah tingkat kesulitan semestinya
dijadikan tolak ukur dalam memilih? Atau, ikuti kata hati saja?