10/05/19

Gula dan Kesadaran



Pernah tidak kamu merasa tidak berguna? Tidak punya bakat apa-apa?
Ketika kamu melihat sekitar, banyak orang-orang terdekat kamu yang telah berkutat dengan mimpinya. Setidaknya, ada satu bidang yang mereka kuasai. Garisbawahi, ku-a-sa-i. Sudah bukan di tahap nyoba-nyoba, amatir, dan sebagainya. Mereka sudah tahu apa yang mereka suka dari kecil, dan mereka latih sampai sekarang. Sementara kamu, masih meraba-raba, sebenarnya apa yang aku suka?

Kadang kamu merasa suka ini, tapi tidak berbakat. Ketika kamu merasa berbakat, ternyata ada teman kamu yang lebih jago dan kamu merasa cuma jadi sebutir debu. Kadang kamu merasa pintar, tapi juga bodoh. Kadang kamu merasa bodoh, tapi kayak pernah pintar. Kamu coba menggali lagi apa prestasi kamu di masa lalu. Ada. Tapi cuma kenang-kenangan yang sulit kamu raih kembali karena udah terkubur terlalu dalam. Sementara ada orang lain yang bergumul dengan hal itu dan tidak pernah berhenti. Dulu mereka pernah ada di A dan kamu ada di B. Sekarang? Rasanya mereka udah ada di J, T, atau W, sementara kamu masih tetap di B. Kayak perahu emas yang ingin bergerak maju, tapi dayungnya sudah terlepas dan tenggelam. Mungkin dua kata paling tepat; sia-sia?

Tidak, bukan. Bukan usaha kamu yang sia-sia. Tapi kamu yang lengah karena menyia-nyiakan waktu kamu untuk berusaha lebih keras. Kamu yang belum siap untuk konsisten dengan satu hal yang kamu cintai. Kamu yang belum berani untuk berkomitmen melawan segala macam halangan dalam meraih mimpi sehingga kamu mencari pelampiasan lain. Tapi, salahkah?

Pelampian lain. Kamu mulai banyak hal lain dari nol. Keluar dari zona nyaman, melawan rasa takut kamu akan hal-hal yang tidak pernah terbesit sedikit pun bakal kamu lakukan. Pengalaman baru, teman baru, pengetahuan baru, dan... kesadaran baru? Ya, kesadaran. Kesadaran akan betapa besarnya dunia yang kamu tinggali ini. Kesadaran akan betapa kamu selama ini bersembunyi dalam sangkar yang kamu ciptakan sendiri. Kesadaran akan segala keluh kesahmu tentang pahitnya dunia, padahal kamu sendiri yang terlalu nyaman dalam dunia kamu yang manis, namun semu. Iya, dunia memang pahit. Tapi kopi pahit pun kalau diberi gula akan manis kan? Untuk mendapatkan gul aitu tidak mudah. Dari tebu yang harus melewati proses penggilingan, pemurnian, penguapan, kristalisasi, pemutaran, pengemasan, baru didistribusikan ke toko-toko dan akhirnya sampai ke dapur kamu. Kompleks, tapi bisa bikin manis kopi pahit. Bayangkan kalau proses itu adalah usaha-usaha kamu, gula itu adalah hasilnya, dan kopi pahit adalah segala emosi negatif yang ada di otak dan hati kamu. Ternyata sederhana ya?

Tebu tidak pernah tahu dia akan melewati proses-proses itu. Yang dia tahu, dia cuma akan bertengger di atas tanah, menjadi tanaman pada umumnya. Diam dan hidup. Tapi nasib membawanya ke tempat lain. Tempat yang tidak pernah dia bayangkan, sekalipun dalam mimpinya. Banyak mesin-mesin dan orang-orang baru yang tidak pernah dia duga akan dia kenal. Tapi di situlah takdirnya. Ia senang. Namun kemudian, ia rindu rumah. Ia rindu menjadi tanaman yang hidup dan bercengkrama dengan angin. Ia ingin kembali. Ia melihat sekeliling. Ia melihat Pak Mursidi yang senang kopinya jadi manis. Tebu tersenyum. Ia berada di dunia antah berantah, namun menjadi bermanfaat bagi orang lain. Di situlah ia meraih kesadaran, bahwa dia memang ditakdirkan menjadi gula. Di situlah perannya dalam hiruk-pikuk dunia yang kejam ini.

Sama seperti aku. Bedanya, gula tidak bisa kembali jadi tebu, aku bisa. Dan di situlah poinnya. Haruskah aku menggali lubang lama yang dalam namun sudah tertutup? Atau mencari lubang lain yang masih terbuka, namun masih sangat dangkal? Sebenarnya, lebih sulit mana? Dan, apakah tingkat kesulitan semestinya dijadikan tolak ukur dalam memilih? Atau, ikuti kata hati saja?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

your comment is everything