25/11/14

Cerita di Halte Kota (Cerpen)

Jadi beberapa minggu yang lalu, gue ikut sebuah lomba sastra di salah satu SMA di Bogor. Nah gue ikut lomba menulis cerpen. Ini kedua kalinya gue ikut lomba cerpen dan kedua kalinya juga gue.....kalah.

Sedih mah yah sedih banget yah. Sakit gitu rasanya. Tapi ya namanya lomba pasti ada menang kalah, dan kekalahan itu harus diterima dan dijadiin motivasi buat usaha lebih keras lagi. Karena nggak ada kesuksesan yang didapet dengan cara mudah. Asik.


Tapi ternyata greget juga ngeliat cerpen itu akhirnya cuma berdiam diri di draft komputer. Akhirnya setelah gue pikirkan secara masak-masak (tepatnya selama dua menit) gue putuskan untuk ngepost cerpen itu di blog ini.


Ohiya, jangan lupa tinggalin komentar dan saran yaaahhh. Karena kritikmu adalah motivasinya aku. :D 


Oke langsung aja..


***
Cerita di Halte Kota

Sudah setengah jam aku menunggu dan tidak ada satu pun bis yang lewat. Aku beberapa kali mendengus kesal. Langit siang mulai gelap dan aku belum bisa pulang. Rasanya seperti ingin kutendang saja tong sampah di depanku. Apalagi suasana hatiku begitu kompak dengan cuaca hari ini. Mendung tidak karuan. 

            Perlahan air hujan mulai jatuh. Jalanan begitu sepi. Hanya ada beberapa kendaraan dan satu dua pejalan kaki yang tergesa-gesa pulang. Seorang perempuan sebayaku berlari menuju halte ini dengan tas di atas kepalanya. ia duduk di sebelahku. Ia mengusap tas ranselnya yang basah itu.

             Ia melepas ikat rambut yang sedari tadi menguncir rambut panjang hitam pekatnya. Rambut itu terurai indah. Raut wajahnya begitu hangat. Bibir tipisnya selalu menyimpulkan senyum kecil yang samar-samar, namun dapat memberi kesan bahagia di parasnya. Aku selalu ingin raut wajah itu. Aku selalu kesal dengan tanggapan orang yang mengatakan mukaku menjengkelkan, walaupun sebenarnya aku sedang tidak jengkel.

            Kupandangi wajahnya. Dari mata cokelat sipit hingga hidung mancungnya. Memoriku berputar. Paras unik nan menarik itu nampak familiar bagiku. Terngiang di kepalaku bayangan wajah itu tengah bersenda gurau denganku. Di atas paparan taman bunga, di sudut taman sekolah lama.

            “Nila.” Ucapnya dengan senyum ramah sembari menyodorkan tangan, membuyarkan lamunanku. Sepertinya ia sadar sedari tadi aku memerhatikannya. Aku agak tersentak. Aku tersenyum seadanya. Hanya senyum itu yang dapat kupersembahkan untuk menutupi debu-debu yang melekat di sudut hatiku. Kusambut tangan itu.

            Tangan hangat ini. Tangan hangat yang senantiasa menggegam jemariku ketika aku ketakutan. Tangan yang tidak bosannya mengusap air mata yang mengalir di pipiku. Tangan yang selalu kurindukan.

            “Nila?!” Aku agak berteriak. Ia tersontak melihat reaksiku. Alisnya mengkerut. “Kau tidak ingat aku?” raut wajah bingungnya tidak berubah.

Aku mengembangkan senyum.

            “Ini aku! Adriana!”  

            “Ah! Adriana!” Nila terkejut dan tersenyum girang. Matanya yang semula menyipit langsung terbuka lebar dan berbinar. Ia langsung mendekapku. Dekapan ini, dekapan hangat lima tahun lalu.

            Dasar, sahabat lamaku ini. Sifatnya tidak pernah berubah. Masih saja pelupa.

            “Ingat nggak, La? waktu SD kita sering hujan-hujanan di depan rumahmu.”

            “Ingat sekali, Dri. Aku juga ingat kamu suka nangis gara-gara terpeleset.” Ucap Nila. Aku mencubit lengannya. Ia tertawa usil.

Nila masih ramah dan riang seperti dulu. Hampir setiap kata dari mulutnya dihiasi senyum indah. Begitu nyaman dipandangi. Obrolan kami selalu nyambung. Tidak ada jeda antara topik yang satu dan lainnya. Kami tertawa-tawa menghiraukan deras hujan. Persis seperti dahulu.

Nila bercerita tentang kehidupannya sekarang. Ia kini tinggal di sebuah rumah sederhana tidak jauh dari rumahku. Ayahnya kini menjadi seorang  pegawai perusahaan dan ibunya menjadi seorang ibu rumah tangga. Ia juga kini mempunyai dua adik kembar yang baru berusia empat tahun.

            Aku selalu suka kehidupannya. Pastilah menyenangkan jika setiap pulang sekolah disambut adik-adik lucu yang  sedang menonton televisi dan mengajak kakaknya bergabung. Tapi sang kakak menolak karena ingin membantu ibu memasak makan malam di dapur. Dan pada saat-saat itu, sang kakak dapat bercerita tentang kejadian-kejadian di sekolah yang tak kalah menyenangkan. Tentang teman-teman baru, pelajaran, nilai ujian, dan hal-hal menarik lainnya. Kemudisan, sang ayah pulang membawa oleh-oleh dari pusat pembelanjaan. Dan ketika makan malam, keluarga kecil ini berkumpul di ruang makan dengan kehangatan dan kasih sayang.

            Aku menanggapi cerita-cerita Nila dengan cerita kehidupanku sekarang ini. Cerita yang sangat bertolak belakang dengan kehidupan Nila.

Pulang sekolah aku selalu disambut oleh rumah kosong seperti tidak berpenghuni. Bahkan kunci rumah selalu ada di tanganku karena aku selalu pulang paling awal dibanding orangtua dan kakak-kakakku. Ayahku seorang direktur di sebuah universitas dan ibuku seorang kepala sekolah. Mereka selalu pulang ketika aku sudah terlelap dan berangkat bekerja pagi sekali ketika aku belum terbangun.

Aku selalu berangkat sekolah bersama kedua kakak laki-lakiku, namun kami berpisah di persimpangan jalan karena sekolah kami tidak searah. Aku tidak pernah diizinkan berangkat sendiri. Kadang aku terlambat sekolah karena kakakku yang telat bangun. Perjalanan ke sekolah yang cukup jauh pun selalu dipenuhi hara-hiri kemacetan. Akhirnya aku menjadi langganan berdiri di barisan anak-anak yang dianggap tidak disiplin ketika upacara bendera hari Senin.

            Ayah selalu memerintahkanku mempelajari hal-hal yang belum dipelajari di sekolah. Supaya aku unggul katanya. Aku pun selalu belajar sendiri tanpa guru pembimbing. Ya, aku sudah terbiasa melakukan segala sesuatunya sendiri tanpa bantuan orang lain. Aku selalu diberi peraturan tanpa arahan. Namun ketika aku melakukan kesalahan, kedua orangtuaku selalu memarahiku tiada habisnya. Kakak-kakakku yang tidak tahu apa-apa pun ikut menyalahkanku.

            Hujan mulai reda. Matahari mulai menunjukkan keberadaannya. Nila mengajakku pulang bersama. Kami pun memutuskan berjalan kaki karena tidak ada bis yang kunjung lewat.

            Kami turun dari halte. Jalanan lembab, kental dengan bau bekas hujan yang begitu khas. Kami berjalan berdampingan di trotoar.

            Nila mampir ke sebuah toko bunga di pinggir jalan. Ia membeli dua ikat bunga lili. Aku keheranan melihatnya.

            “Untuk orang tuaku. Hari ini mereka ulang tahun pernikahan.” ucap Nila tanpa kutanya.

            Kami pun kembali menyusuri trotoar. Beberapa menit kemudian Nila kembali menghentikan langkahnya.

            “Itu rumahku, Dri.” Ucap Nila sembari menunjuk sebuah rumah bercat putih di seberang jalan. Kami pun berpisah. Aku memerhatikan langkah Nila dari balik punggungnya. Ia tidak langsung masuk rumah. Ia berjalan ke sebuah pemakaman di sebelah rumahnya. Nila meletakkan dua bunga lili yang tadi ia beli di atas dua buah makam. Air matanya menetes, namun mulutnya tetap menunjukkan seberkas senyum kecil.