Jadi beberapa minggu yang lalu, gue ikut sebuah lomba sastra di salah satu SMA di Bogor. Nah gue ikut lomba menulis cerpen. Ini kedua kalinya gue ikut lomba cerpen dan kedua kalinya juga gue.....kalah.
Sedih mah yah sedih banget yah. Sakit gitu rasanya. Tapi ya namanya lomba pasti ada menang kalah, dan kekalahan itu harus diterima dan dijadiin motivasi buat usaha lebih keras lagi. Karena nggak ada kesuksesan yang didapet dengan cara mudah. Asik.
Tapi ternyata greget juga ngeliat cerpen itu akhirnya cuma berdiam diri di draft komputer. Akhirnya setelah gue pikirkan secara masak-masak (tepatnya selama dua menit) gue putuskan untuk ngepost cerpen itu di blog ini.
Ohiya, jangan lupa tinggalin komentar dan saran yaaahhh. Karena kritikmu adalah motivasinya aku. :D
Oke langsung aja..
Sedih mah yah sedih banget yah. Sakit gitu rasanya. Tapi ya namanya lomba pasti ada menang kalah, dan kekalahan itu harus diterima dan dijadiin motivasi buat usaha lebih keras lagi. Karena nggak ada kesuksesan yang didapet dengan cara mudah. Asik.
Tapi ternyata greget juga ngeliat cerpen itu akhirnya cuma berdiam diri di draft komputer. Akhirnya setelah gue pikirkan secara masak-masak (tepatnya selama dua menit) gue putuskan untuk ngepost cerpen itu di blog ini.
Ohiya, jangan lupa tinggalin komentar dan saran yaaahhh. Karena kritikmu adalah motivasinya aku. :D
Oke langsung aja..
***
Cerita di Halte Kota
Sudah setengah jam aku menunggu dan
tidak ada satu pun bis yang lewat. Aku beberapa kali mendengus kesal. Langit siang
mulai gelap dan aku belum bisa pulang. Rasanya seperti ingin kutendang saja
tong sampah di depanku. Apalagi suasana hatiku begitu kompak dengan cuaca hari
ini. Mendung tidak karuan.
Perlahan air
hujan mulai jatuh. Jalanan begitu sepi. Hanya ada beberapa kendaraan dan satu
dua pejalan kaki yang tergesa-gesa pulang. Seorang perempuan sebayaku berlari
menuju halte ini dengan tas di atas kepalanya. ia duduk di sebelahku. Ia
mengusap tas ranselnya yang basah itu.
Ia melepas ikat rambut yang sedari tadi menguncir
rambut panjang hitam pekatnya. Rambut itu terurai indah. Raut wajahnya begitu
hangat. Bibir tipisnya selalu menyimpulkan senyum kecil yang samar-samar, namun
dapat memberi kesan bahagia di parasnya. Aku selalu ingin raut wajah itu. Aku
selalu kesal dengan tanggapan orang yang mengatakan mukaku menjengkelkan,
walaupun sebenarnya aku sedang tidak jengkel.
Kupandangi
wajahnya. Dari mata cokelat sipit hingga hidung mancungnya. Memoriku berputar.
Paras unik nan menarik itu nampak familiar bagiku. Terngiang di kepalaku
bayangan wajah itu tengah bersenda gurau denganku. Di atas paparan taman bunga,
di sudut taman sekolah lama.
“Nila.”
Ucapnya dengan senyum ramah sembari menyodorkan tangan, membuyarkan lamunanku.
Sepertinya ia sadar sedari tadi aku memerhatikannya. Aku agak tersentak. Aku
tersenyum seadanya. Hanya senyum itu yang dapat kupersembahkan untuk menutupi
debu-debu yang melekat di sudut hatiku. Kusambut tangan itu.
Tangan
hangat ini. Tangan hangat yang senantiasa menggegam jemariku ketika aku
ketakutan. Tangan yang tidak bosannya mengusap air mata yang mengalir di
pipiku. Tangan yang selalu kurindukan.
“Nila?!” Aku
agak berteriak. Ia tersontak melihat reaksiku. Alisnya mengkerut. “Kau tidak
ingat aku?” raut wajah bingungnya tidak berubah.
Aku mengembangkan senyum.
“Ini aku!
Adriana!”
“Ah!
Adriana!” Nila terkejut dan tersenyum girang. Matanya yang semula menyipit
langsung terbuka lebar dan berbinar. Ia langsung mendekapku. Dekapan ini,
dekapan hangat lima tahun lalu.
Dasar, sahabat
lamaku ini. Sifatnya tidak pernah berubah. Masih saja pelupa.
“Ingat
nggak, La? waktu SD kita sering hujan-hujanan di depan rumahmu.”
“Ingat
sekali, Dri. Aku juga ingat kamu suka nangis gara-gara terpeleset.” Ucap Nila.
Aku mencubit lengannya. Ia tertawa usil.
Nila masih ramah dan riang seperti
dulu. Hampir setiap kata dari mulutnya dihiasi senyum indah. Begitu nyaman
dipandangi. Obrolan kami selalu nyambung. Tidak ada jeda antara topik yang satu
dan lainnya. Kami tertawa-tawa menghiraukan deras hujan. Persis seperti dahulu.
Nila bercerita tentang kehidupannya
sekarang. Ia kini tinggal di sebuah rumah sederhana tidak jauh dari rumahku.
Ayahnya kini menjadi seorang pegawai
perusahaan dan ibunya menjadi seorang ibu rumah tangga. Ia juga kini mempunyai
dua adik kembar yang baru berusia empat tahun.
Aku selalu
suka kehidupannya. Pastilah menyenangkan jika setiap pulang sekolah disambut
adik-adik lucu yang sedang menonton
televisi dan mengajak kakaknya bergabung. Tapi sang kakak menolak karena ingin
membantu ibu memasak makan malam di dapur. Dan pada saat-saat itu, sang kakak
dapat bercerita tentang kejadian-kejadian di sekolah yang tak kalah
menyenangkan. Tentang teman-teman baru, pelajaran, nilai ujian, dan hal-hal
menarik lainnya. Kemudisan, sang ayah pulang membawa oleh-oleh dari pusat
pembelanjaan. Dan ketika makan malam, keluarga kecil ini berkumpul di ruang
makan dengan kehangatan dan kasih sayang.
Aku
menanggapi cerita-cerita Nila dengan cerita kehidupanku sekarang ini. Cerita
yang sangat bertolak belakang dengan kehidupan Nila.
Pulang sekolah aku selalu disambut
oleh rumah kosong seperti tidak berpenghuni. Bahkan kunci rumah selalu ada di
tanganku karena aku selalu pulang paling awal dibanding orangtua dan
kakak-kakakku. Ayahku seorang direktur di sebuah universitas dan ibuku seorang
kepala sekolah. Mereka selalu pulang ketika aku sudah terlelap dan berangkat
bekerja pagi sekali ketika aku belum terbangun.
Aku selalu berangkat sekolah bersama
kedua kakak laki-lakiku, namun kami berpisah di persimpangan jalan karena sekolah
kami tidak searah. Aku tidak pernah diizinkan berangkat sendiri. Kadang aku
terlambat sekolah karena kakakku yang telat bangun. Perjalanan ke sekolah yang
cukup jauh pun selalu dipenuhi hara-hiri kemacetan. Akhirnya aku menjadi
langganan berdiri di barisan anak-anak yang dianggap tidak disiplin ketika
upacara bendera hari Senin.
Ayah selalu
memerintahkanku mempelajari hal-hal yang belum dipelajari di sekolah. Supaya
aku unggul katanya. Aku pun selalu belajar sendiri tanpa guru pembimbing. Ya,
aku sudah terbiasa melakukan segala sesuatunya sendiri tanpa bantuan orang
lain. Aku selalu diberi peraturan tanpa arahan. Namun ketika aku melakukan
kesalahan, kedua orangtuaku selalu memarahiku tiada habisnya. Kakak-kakakku
yang tidak tahu apa-apa pun ikut menyalahkanku.
Hujan mulai
reda. Matahari mulai menunjukkan keberadaannya. Nila mengajakku pulang bersama.
Kami pun memutuskan berjalan kaki karena tidak ada bis yang kunjung lewat.
Kami turun
dari halte. Jalanan lembab, kental dengan bau bekas hujan yang begitu khas.
Kami berjalan berdampingan di trotoar.
Nila mampir
ke sebuah toko bunga di pinggir jalan. Ia membeli dua ikat bunga lili. Aku
keheranan melihatnya.
“Untuk orang
tuaku. Hari ini mereka ulang tahun pernikahan.” ucap Nila tanpa kutanya.
Kami pun
kembali menyusuri trotoar. Beberapa menit kemudian Nila kembali menghentikan
langkahnya.
“Itu
rumahku, Dri.” Ucap Nila sembari menunjuk sebuah rumah bercat putih di seberang
jalan. Kami pun berpisah. Aku memerhatikan langkah Nila dari balik punggungnya.
Ia tidak langsung masuk rumah. Ia berjalan ke sebuah pemakaman di sebelah
rumahnya. Nila meletakkan dua bunga lili yang tadi ia beli di atas dua buah
makam. Air matanya menetes, namun mulutnya tetap menunjukkan seberkas senyum
kecil.
Wah-wah, ceritanya bagus. Nyampe buat Pangeran Wortel tenggelam. "Laut kali, tenggelam." Gak nyangka orang tuanya udah meninggal. Kasihan. :'(
BalasHapusmakasiih kakak wortel :D
Hapuskeren kak ceritanya, ^_^ akhir yang tidak di sangka sangka, ,
BalasHapuscerpennya pun ngasih kita motivasi juga kak, biar kita gak terlalu membanding bandingkan keadaan kita ama orang lain, , kereeen, , di tunggu postingan selanjutnya, ^_^
kak? aku masih smp :| makasiiih :D
Hapusoalah, uda meninggal org tuanya? keren cerpen nya. memotivasi bgt.
BalasHapusiya kak hehe, makasiih kakk:D
HapusPesan moralnya dapet nih, keren. Keep writing yaaap ^^
BalasHapusyey alhamdulillah. siip makasih kak:D
Hapusgokillllllll ngena banget.... !!! kereenn :'( aaaa
BalasHapusahh yg bener? :p makasihh ka dimaaz:D
Hapusbenerrrr :( hehe sami sami atuh neng :D
HapusPantes enggak menang, itu ceritanya agak terlalu terburu buru menyelesaikannya. Atau mungkin memang flash fiction jadi kamu enggak kasih alur yang lumayan. Tapi bagus kok. Semangat terus^^
BalasHapusabis bikinnya rada mendadak jadi gitu deh...huaha siip makasih kakk:D
HapusBagus kok cerpennya pesannya jg nangkep... yah yang pentingnya kamu jangan nyerah... tetap berusaha^^
BalasHapussip kak, makasiih :D
HapusSama2 ya... keep writing!!!
Hapuskereeen sumpaaah ceritanyaa *lebay
BalasHapussemangat terus nulisnya biar bisa juara :D
siaap kak, aamiin :D
HapusGood!! Ceritanya menarik sekali. Pesannya mendalam. Yang penting jangan pernah mengeluh dan selalu mensyukuri apapun yang terjadi.... Salam kenal
BalasHapusyeyy sip kakk, salam kenal juga hehe :D
HapusNah, gue kira orangtua Nila masih ada, nggak tahunya udah meninggal. :O
BalasHapusBagus nih cerpennya, jadinya pengin baca
terus. Ah, andai ada lanjutannya. :)
wahh mungkin kalau otak lg jalan ada lanjutannya(?) hehe :D
Hapusmenurut saya ceritamu agak ngambang dan kurang konflik... padahal cerpen kayak gini kan yang membuat menarik itu konflik dan beserta solusinya.... jadi waktu baca, saya kurang mendapatkan rasa ingin membaca terus ceritamu... :D ini menurutku loh ya .. pendapat pribadi ....jangan masukin hati huehueheue keep writing .
BalasHapusokedeh makasih banyak kak kritiknyaa hehe :D sipp
Hapusmemotivasi kak ceritanya. kasian Nilanya udah nggak punya orang tua lagi.
BalasHapussarannya sih supaya lebih banyak baca, jadi pengembangan konfliknya juga bisa lebih waw.
keep writing! ;))
iyaa hehe makasiih :D sipp
Hapusgue setuju sama latif. klo cerita lo ini kurang panjang, dan emang kurang ada konfliknya. yah, walaupun gue pribadi belom pernah nyoba nulis cerpen, tapi sering baca juga sih. hehehe....
BalasHapussering'' aja baca buku cerpen gtu, penulis keren itu yang sering baca buku. nnti lo juga akan tau gmna seharusnya. pesannya nangkep kok. ttep semangat. jgan berenti nulis deh pokoknya. tulisan bagus, ga dihasilkan dengan sekali tulis kok. oh iya, saran aja sih, sehabis lo nulis, baca ulang lgi. kira'' mnrut lo sndri, ceritanya gmna. dan lo harus jjur sama penilaiannya. itu kta''nya bang radit klo ga salah. keep writing...
makasih kritik dan sarannya kak hehe siapp
HapusCerpennya udah bagus tapi kurang panjang. :)
BalasHapusJujur, cerita di cerpen ini ngena banget.
Walaupun gak juara, jangan menyerah. Masih ada hari esok. :)
sip makasih kakk:D
Hapus