Sudah seminggu setelah
kepindahanku ke sini. Aku memang belum terbiasa dengan lingkunganku sekarang,
di kota ini. Di rumah baru ini aku masih merasa seperti bukan rumahku. Cat dinding kamar yang berbeda, penataan yang
berbeda, dan tetangga yang berbeda.
Jika dulu,
Minggu pagi aku selalu keluar rumah dan pergi ke rumah Ayna, sahabat karibku.
Rumahnya memang agak jauh dari rumahku, tapi aku masih sanggup untuk ke
rumahnya dengan mengayuh sepeda. Sekarang, hari Minggu menjadi membosankan
bagiku. Aku yang sulit berbaur dengan lingkungan baru ini terasa seperti di
penjara. Mau keluar rumah, tidak tahu
harus ke mana. Di dalam rumah, aku hanya ditemani ponsel dan laptopku. Ayah dan
ibuku pergi bekerja, dan aku adalah anak tunggal. Inginnya aku segera masuk sekolah
untuk mencari teman.
Hari pertamaku
masuk sekolah pun datang. Tepat pagi ini, aku sudah bersiap-siap menanti
perjumpaan pertama dengan teman-temanku di sekolah baru nanti. Yah, aku memang
tidak tahu seperti apa anak-anak di sekolahku nanti, tapi aku yakin banyak
orang baik di sana.
“Vera, cepat
habiskan sarapanmu! Jangan sampai terlambat di hari pertama!” perintah ibu. Aku
langsung melahap habis roti isi selai kacangku, minum segelas susu, lalu
mengambil tasku.
“Bu, Vera
berangkat ya! Assalamu’alaikum!” ucapku yang langsung mencium tangan ibu. Ibu
mejawab salamku, aku pun langsung keluar pintu dan mengambil sepedaku. Ya,
sepeda adalah salah satu teman setiaku. Tanpa sepeda, aku pasti sudah mengeluh
setiap hari karena harus berjalan kaki.
Rambut sebahuku
yang diikat melayang diterpa angin. Kulihat jam tangan di tangan kananku, jarum
jam menunjukkan pukul 06.46, sementara bel berbunyi pada pukul 07.00. aku tidak
tahu berapa waktu yang kubutuhkan untuk sampai ke sekolah dengan sepeda. Tapi
karena takut telat, aku pun mengayuh sepeda ini lebih cepat lagi.
Hembusan angin
pagi membuatku kedinginan. Tapi aku sudah biasa dengan itu. Kembali kulihat jam
tanganku, pukul 06.55! Dan aku belum melihat papan bertuliskan “SMP 1 INSAN
BAKTI” di kiri jalan. Aku mengayuhkan sepeda ini lebih cepat lagi. Tidak pernah
aku secepat ini mengayuh sepeda untuk masuk sekolah.
Akhirnya papan
itu terlihat, pertanda sebentar lagi aku sampai. Sejurus kemudian, aku hentikan
sepedaku dan aku pakirkan pada tempatnya. Kulihat sejenak bangunan megah
bernuansa biru ini. Inilah sekolah baruku. Setelah puas mengagumi sekolah ini,
aku mencari ruang kepala sekolah.
TEETTT....!!
TEETTT...!!
Bel masuk
berbunyi tepat ketika aku menemukan ruang kepala sekolah. Anak-anak murid SMP 1
INSAN BAKTI ini langsung berlarian masuk kelas. Aku mencoba untuk menghidar
agar tidak tertabrak. Namun sialnya..
BRUKKK!!
Seseorang
menbrakku hingga aku terjatuh.
“Eh,
maaf-maaf!” ucap orang yang menabrakku itu seraya membantuku bangun. Ia adalah
siswi yang tingginya hampir sama denganku. Berambut panjang dan cantik.
Kelihatannya dia orang baik.
“Eh, iya.
Gapapa kok.”
“Yaudah kalo
gitu, gua ke kelas dulu ya!” siswi itu langsung berlari meninggalkanku. Aku
hanya tersenyum.
Baru saja aku
mau mengetuk pintu ruang kepala sekolah, seseorang membuka pintu itu dari
dalam. Ternyata seseorang itu adalah Pak Wawan, sang kepala sekolah.
“Vera ya?”
tanya Pak Wawan, aku mengangguk. “Mari bapak antarkan ke kelas.” Pak Wawan pun
berjalan dan aku mengekor di belakang beliau.
Aku dan Pak
Wawan sampai di kelasku, 7C. Pak Wawan mengetuk pintu, guru perempuan yang
sedang mengajar pun langsung menengok ke
arah pintu. Pak Wawan mengatakan bahwa anak yang bersamanya adalah murid baru.
Pak Wawan pun menyerahkanku kepada guru itu yang bernama Bu Diana, lalu pergi.
Bu Diana pun menyuruhku memperkenalkan diri.
Gugup. Aku
merasa gugup. Kutatap satu-satu anak-anak di kelas ini, semuanya tampak baik. Tapi
itu baru tampak saja.
Setelah
memperkenalkan diri, Bu Diana mempersilahkan aku duduk di salah satu bangku yang
masih kosong. Aku pun berjalan menuju bangku di barisan dua, di mana seorang
murid perempuan berkulit sawo matang dan
berambut sepunggung menjadi teman sebangkuku. Kuharap ia tidak menyebalkan.
“Hai, nama gue
Nessa.” Sapa anak itu. Aku tersenyum dan membalas sapaannya.
“Vera.”
Nessa membalas
tersenyum.
Setelah beberapa
lama kemudian, waktu istirahat tiba. Nessa mengajakku untuk ke kantin. Tentu saja
aku menerima ajakannya. Kami pun beranjak ke kantin sekolah.
“Eh, lu suka
basket nggak?” tanya Nessa.
“Suka sih, cuma
jarang main.”
“Ooh, kalau
gue suka banget waktu SD, tapi di SMP ini ga ada klub basket ceweknya gara-gara
kekurangan anggota. Nyesel banget gue..”
“Kenapa gak
ikut basket jalanan aja?” tanyaku.
“Tadinya juga
gue pengen ikut, tapi ga jadi, pengen serius sekolah aja.”
“Ooh..”
Aku dan Nessa
terus mengobrol ngalur ngidul. Dia orangnya asik, nggak sombong dan lebay.
Sepertinya aku bisa bersahabat dengannya.
Tiba-tiba..
BRUKK..!
“Ah, jalan
pake mata dong!” kesalku. Ya, lagi-lagi seseorang menabrakku. Kedua untuk hari
ini.
Adalah seorang
cowok bertubuh tinggi dan berambut landak yang menabrakku. Wajahnya tak asing
bagiku. Aku seperti mengenalnya.
“Iya, sorry
gak sengaja! Eh, elu kan..” sepertinya cowok itu juga merasa mengenalku. Aku hanya
terdiam melihatnya dengan seksama.
“Elu!”
teriakku dan cowok itu berbarengan. Aku berhasil mengingatnya, dia itu..
“Lu kan cewek
tengil yang naksir sama gue! Kok ada lu sih di sini?” ucap cowok itu, tepatnya
cowok menyebalkan itu.
“Ya gue
sekolahlah di sini! Kenapa gue harus ketemu lu lagi sih?! Cowok badung yang
pernah masukin tikus ke tas guru.. trus ngejual jawaban ulangan..” ucapku
dengan muka kesal.
“Jih, emang
kenapa kalau ketemu gue lagi? Takut gak bisa move on?”
“Tau ah!” aku
langsung menarik Nessa untuk pergi. Benar-benar menguji emosi. Nessa tampak
kebingungan melihat kejadian ini.
Aku dan Nessa
sampai di kantin. Kami hanya membeli minuman.
“Vera, lu
kenal Kak Ray?” tanyanya.
“Iya, dia
kakak kelas gue waktu SD. Dia itu, anak paling badung di SD gue dulu, tapi otaknya
paling pinter.” jawabku.
“Trus tadi dia
bilang, lu naksir dia?”
“Iya, tapi itu
dulu! Dua tahun yang lalu!” Nessa tampak tak percaya mendengar ceritaku. “Memangnya
kenapa?”
“Duh, Vera..
gue itu.. gue suka sama Kak Ray!” aku tersedak mendengarnya. “Dan menurut gue,
dia gak separah yang lu bilang kok.”
“Maksudnya?”
“Iya, dia gak
sebadung yang lu bilang. Emang sih kadang nyebelin, tapi gak jarang kok dia
baik banget.”
“Masa sih?”
“Iya!” Nessa
meyakinkanku. “Tapi lu udah move on kan?”
“Ya udahlah,
gue malah merasa bodoh pernah naksir dia.” jawabku tanpa ragu.
“Ciyus?”
“Serius.”
“Cumpah?”
“Sumpah.”
“Miapah?”
“Berantem yuk.”
rumah baru, sekolah baaru :D moga betah ya, emang perlu waktu untuk membiasakan diri
BalasHapusini bukan kenyataan, cuma khayalan XD muahahehe
Hapus